Cerpen Persahabatan Sejati adalah
cerpen cinta yang berceritakan seorang dengan
sahabat sejati yang tidak di makan oleh usia jaman. seperti lagu berbunyi
persahabatan seperti kepompong mulai jadi ulat akan jadi kupu kupu itu merupakan
kata kata bijak persahabatan yang sangat erat
dan tidak bisa di pisahkan setelah update cerpen islami
buat sobat yang pengen
membaca cerpen persahabatan yang berjudulkan sahabat sejati yang di
ambil dari sumber cerita-anak.blogspot.com. cerpen persahabatan ini
berceritakan sahabat juga bisa seperti kedekatan tapi melebihi seorang teman
dan pacar.
“Amanda, Amanda, tunggu
aku sebentar”.
Sekolah baru saja usai,
Amanda sedang berjalan pulang ketika mendengar suara seseorang memanggilnya.
Dia menoleh ke belakang. Terlihat Nisa berlari mengejarnya dengan
tergopoh-gopoh.
“Ada apa Nisa?”, tanya
Amanda keheranan.
“Begini, aku mau
mengembalikan ini”, kata Nisa sambil mengangsurkan sebuah tas plastik kepada
Amanda.
Amanda, melihat isi tas
plastik tersebut, lalu bertanya, “Lho, kenapa dikembalikan, kamu tidak suka
sepatu ini ya?”
“Tidak, ee..., maksudku,
aku suka sepatu itu.”
“Lantas mengapa sepatu
ini kamu kembalikan kepadaku, apakah kamu tidak memerlukannya?”, tanya Amanda
menyelidik.
“Sebenarnya aku sangat
memerlukan sepatu itu, tapi....”, suara Nisa terhenti, dia ragu-ragu untuk
meneruskannya.
“Tapi apa Nisa?”, tanya
Amanda lagi.
Nisa teringat dengan
kejadian kemarin. Ketika itu, dia baru saja pulang dari sekolah. Saat masuk
rumah, segera ditemuinya Ibunya yang sedang memasak di dapur.
“Bu…Bu… lihat”, katanya
sambil berjingkat-jingkat penuh kegirangan.
Ibunya menengok sebentar
ke arah Nisa, kemudian kembali sibuk mengaduk-aduk masakannya di panci, “Lihat
apanya?”
“Lihat ini dong Bu, bagus
sekali kan”, kata Nisa sambil mengangkat kaki kirinya, menunjukkan sepatu baru
yang sedang dipakainya.
Ibunya menengok sekali
lagi sambil berkata, “Iya, bagus sekali sepatu yang kau pakai. Omong-omong,
sepatu itu pinjam dari siapa?”
“Ah Ibu, ini sepatu
milikku”, kata Nisa dengan nada gembira.
“O begitu. Lho, jadi kamu
sudah membuka tabunganmu ya. Memangnya sudah terkumpul banyak uang
tabunganmu?”, tanya ibunya.
“Tidak, uang tabunganku
masih utuh di dalam celengan. Sepatu ini aku dapat dari Amanda. Dia yang
memberikannya untukku”
“Ah masak sih, kok bisa
begitu?”, tanya ibunya tidak percaya. “Ingat, kamu jangan suka meminta-minta
lho pada teman-temanmu”, lanjutnya.
“Tentu tidak dong Bu”,
sergah Nisa, “ceritanya begini: kebetulan Amanda membeli sepatu baru minggu
lalu, tapi ternyata sepatu itu kebesaran sedikit. Karena itu Amanda
menawarkannya kepadaku. Lantas aku coba, kok pas sekali untukku. Lalu Amanda
memberikannya untukku”.
“Wah beruntung sekali
kamu Nisa. Apakah ayah dan ibu Amanda mengetahuinya?”, tanya ibu Nisa.
“Tentu saja Bu. Mana
berani Amanda memberikannya tanpa sepengetahuan orang tuanya. Mereka baik
sekali ya Bu”, kata Nisa.
“Iya. Tapi aku yakin
Bapakmu tidak akan suka”, kata ibu Nisa sambil tetap memasak.
“Tidak mungkin dong Bu”,
kata Amanda yakin, “Bapak pasti juga akan gembira”.
“Tunggu saja kalau Bapak
pulang nanti”, wanti-wanti ibunya.
Benar. Ketika ayahnya
pulang ke rumah setelah seharian mengemudi becak, Nisa langsung menyambutnya
dengan memamerkan sepatu barunya. Tapi jawaban ayahnya seperti perkiraan ibunya
tadi.
“Apa? Kau diberi sesuatu
lagi oleh temanmu. Cepat kembalikan. Kita sudah menerima pemberian terlalu
banyak dari mereka Nisa. Dulu tas dan peralatan tulis-menulis. Bulan lalu
seragammu juga diberi oleh ayah Amanda serta uang sekolahmu dilunasinya ketika
Bapak tidak punya uang. Sudah tidak terhitung lagi pemberian mereka kepada
kita”
“Tapi Pak, Amanda
memberikannya dengan ikhlas kepadaku”, kata Nisa membela diri.
“Betul. Bapak tidak
menyangkal ketulusan hati mereka. Tapi ini sudah terlalu banyak. Mereka selalu
membantu kita, tapi apa yang bisa kita berikan kepada mereka? Tidak ada”, kata
ayah Nisa dengan sedih.
“Mereka tidak
mengharapkan balasan dari kita Pak”, kata Nisa mencoba meyakinkan ayahnya.
“Tidak. Pokoknya sepatu
tersebut harus dikembalikan segera”, jawab ayah Nisa dengan tegas. “Dan jangan
menerima lagi pemberian mereka. Keluarga Pak Ahmad memang baik sekali, tetapi
kita tidak bisa terus-menerus menerima bantuan dari mereka tanpa kita bisa
membalasnya. Apa yang bisa kita berikan kepada mereka, mereka itu kaya sekali
dan tidak memerlukan sesuatu dari kita yang miskin ini”.
“Tapi Pak…”, Nisa mencoba
menawar.
“Tidak ada tetapi, ini
sudah menjadi keputusan Bapak. Sepatu itu sudah harus dikembalikan besok”.
“Ya Pak’, kata Nisa
menyerah.
Amanda memandang wajah
Nisa yang sedih ketika menceritakan alasannya mengembalikan sepatu pemberiannya
tersebut.
“Ya sudah, nggak usah
sedih. Bagaimana kalau sepatu ini tetap kamu simpan saja, tidak usah bilang
ayahmu”, kata Amanda menghibur.
“Tidak bisa. Aku sudah
janji pada Bapak untuk mengembalikan sepatu ini”, kata Nisa.
“OK. Aku simpankan dulu
ya sepatu ini, nanti jika ayahmu sudah tidak marah lagi, kamu boleh
mengambilnya lagi”
“Baiklah Amanda, kamu
baik sekali. Kamu memang sahabatku yang sejati”, kata Nisa sambil memeluk
sahabat karibnya itu.
Keesokan harinya, Amanda
tidak masuk sekolah. Nisa mencari-cari ke manapun di sekolah tapi Nisa tetap
tidak tampak juga. Pada jam pelajaran ketiga Pak Guru memberi pengumuman kepada
murid-murid sekelas Nisa:
“Anak-anak, ada kabar
buruk. Pak Ahmad, ayah Amanda mengalami kecelakaan mobil pagi tadi. Beliau
terluka parah dan sekarang berada di rumah sakit memerlukan darah yang cukup
banyak. Bapak akan segera meminta guru-guru untuk mendonorkan darah bagi Pak
Ahmad. Kalian dibolehkan pulang lebih awal.”
Anak-anak segera berebut
keluar kelas untuk pulang. Nisa juga segera keluar ruangan dan berlari menuju
ke tempat ayahnya biasa mangkal. Terlihat ayahnya masih duduk di atas becaknya
menunggu calon penumpang. Nisa bergegas menemuinya dan menceritakan pengumuman
Pak Guru tadi.
Mereka berdua segera
menuju ke rumah sakit dan menuju ke ruang gawat darurat di mana ayah Amanda
dirawat. Setelah ayah Nisa menjelaskan maksud kedatangannya, seorang kerabat
Pak Ahmad menunjukkan jalan ke ruang PMI untuk donor darah. Setelah darahnya
diambil, terlihat para guru sekolah Amanda berdatangan dan sebagian mendonorkan
darahnya. Berkat sumbangan darah dari ayah Nisa dan para guru, kondisi Pak
Ahmad segera membaik.
“Terima kasih banyak, Pak
Arif”, kata Pak Ahmad pada saat menengok Pak Ahmad di rumah sakit. “Berkat
bantuan Pak Arif, saya bisa pulih kembali seperti sediakala”.
“Ah tidak Pak, itu memang
sudah kewajiban saya untuk membantu sesama. Apalagi kan selama ini keluarga Pak
Ahmad sudah sangat sering membantu kami, tanpa kami mampu membalasnya”, kata
ayah Nisa.
“Pak Arif tidak perlu
memikirkan untuk membalasnya. Kami melakukan semuanya selama ini dengan ikhlas.
Nisa kan teman Amanda yang paling akrab dan sering membantu Amanda dalam
belajar dan mengerjakan tugas-tugasnya. Saya kira itu sudah cukup. Karena itu
terima kasih Pak Arif telah menyelamatkan nyawa saya”, kata ayah Amanda sambil
tersenyum.
“Sama-sama Pak, kami juga
mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan yang tak terhitungkan selama ini”,
kata Pak Arif.
Nisa dan Amanda saling
berpandangan dengan gembira mendengar percakapan kedua orang tua mereka.
“Kalau begitu, boleh kan
saya memberikan sepatu saya kepada Nisa”, tanya Amanda.
“Tentu saja, tentu saja
Amanda. Begitu kan Pak Arif. Ini sebagai ungkapan terima kasih kami”, kata ayah
Amanda cepat-cepat.
“Baiklah”, jawab ayah
Nisa tidak mampu menolaknya.
“Horeeeeeeeeee”, teriak
Amanda dan Nisa bersama-sama sambil melompat-lompat gembira.
“Ha….ha….ha….”, ayah ibu
Amanda dan Nisa tertawa berderai melihat kelakuan kedua anak itu.
Ok teman... semoga saja
ya kamu senang dengan kehadiran cerpen persahabatan diatas.
·